filsafat agama : argumen - argumen wujud tuhan
MAKALAH
Argumen-Argumen Wujud Tuhan
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Filsafat Agama
Dosen Pengampu: Dr. Syamsuri, MA
Disusun Oleh :
Rini
Fatmawati
Waslan
Moh.
Muhyidin
|
:1112032100060
|
JURUSAN
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Bicara
tentang eksistensi Tuhan, merupakan sebuah obyek kajian yang memang sudah lama ada, tepatnya sejak kemunculan filsafat Pra-Socrates ( masa Anaximandros, Xenophas, hingga
Parmenides ). Walaupun tidak membahas tentang Tuhan secara utuh, namun para
filosof tersebut setidaknya membahas tentang adanya Tuhan.
Kata “ Tuhan “,merujuk kepada suatu
Zat Abadi dan Supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia
dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk
kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk
energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana
keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang
terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup atau apapun yang tak bisa
dimengerti atau dijelaskan.
Banyak tafsir daripada nama
"Tuhan" ini yang bertentangan satu sama lain. Meskipun kepercayaan
akan Tuhan ada dalam semua kebudayaan dan peradaban, tetapi definisinya
lain-lain. Istilah Tuan juga banyak kedekatan makna dengan kata Tuhan, dimana
Tuhan juga merupakan majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya hamba
sedangkan Tuan punya sahaya atau budak.
Dengan kemutlakannya, Tuhan tentunya
tidak terikat oleh tempat dan waktu. Baginya tidak dipengaruhi yang dulu atau
yang akan datang. Tuhan tidak memerlukan tempat, sehingga pertanyaan tentang
dimana Tuhan hanya akan membatasi kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan
lahir atau kapan mati.
Manusia dalam mencari Tuhan dengan
bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat mencapai tingkat eksistensinya.
Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan Tuhan menyebabkan manusia yang relatif itu
tidak dapat menjangkau substansi Tuhan. Dengan demikian informasi tentang
substansi Tuhan itu apa, tentunya berasal dari Sang Mutlak atau Tuhan itu
sendiri.
Hakikat Dzat
(substansi) Tuhan tidak mungkin diketahui oleh rasio dan tidak dapat
diketemukan asal atau keadarnya.
Substansi Tuhan tidak dapat diliput oleh pemikiran dan manusia tidak mampu
membuat perantaraan atau mediator untuk mengetahuinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SUBSTANSI
TUHAN
Rasio
manusia terdapat titik puncak dari kecendikiaan dan kekuatan penemuan rasio
sangat terbatas dan lemah mengetahui hakikat sesuatu. Rasio tidak mampu
mengetahui hakikat benda dan hakikat atom yang tersusun padahal benda itu
adalah sesuatu yang paling melekat pada manusia[1]
Jika posisi
rasio kondisinya semacam itu, di dalam jiwa, cahaya, benda, dan sesuatu yang
terdapat di alam yang riil dan abstrak, maka bagaimana mungkin rasio dapat
mengetahui substansi Tuhan dan berupaya menangkap asa atau kadar substansi-Nya.
Substansi Tuhan lebih besar dari sesuatu yang ditangkap oleh rasio yang yang
diliputi oleh pemikiran.
Substansi
Tuhan tetap ada sebagaimana kekuatan eksistensi yang telah ada. Eksistensi
Tuhan sama dengan ketentuan benda yang riil dan bermula dan benda-benda yang
rasionalistik. Oleh karenanya Allah berfirman “penglihatan tidak dapat
menangkap Allah sedang Allah dapat menangkap penglihatan. Allah Maha Halus dan
Maha Mengetahui.
B. BUKTI
EKSISTENSI TUHAN
Untuk
mengetahui eksistensi Allah diantaranya ada dua metode,yakni mengenal diri dan memperhatikan
cakrawala. Mengenal diri sendiri hakikatnya adalah membuktikan eksistensi Allah
dan mengetahui adanya Allah. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an “Dan di dalam dirimu sendiri,tidakkah kalian
memperhatikan? { QS.41 :21},dan dalam hadits Nabi “Barangsiapa mengenaldirinya sendiri,maka dia mengenal Tuhan”.
Eksistensi Allah adalah riil seperti matahari yang bercahaya pada waktu pagi.
Setiap benda di alam ini menyaksikan dan
membuktikan eksistensi adanya Allah. Berbagai benda alam dan unsur-unsurnya
akan memperkuat bahwa ia mempunyai pencipta dan pengatur. Alam dengan segala
isinya membuktikan bahwa itu semua adalah bukti eksistensi adanya Allah.
Bukti akan
adanya eksistensi Tuhan dapat dilakukan melalui 4 metode yakni :
A. Argumen
Ontologis
Ontologis
berasal dari kata ontos, yang berarti sesuatu yang berwujud. Ontologi
juga bisa disebut sebagai ilmu yang mempelajari wujud tentang hakikat yang ada [2]. Argumen ini tidak
berdasarkan pada alam nyata semata, namun juga berdasarkan pada logika.
Ontologi,
pertama kali digunakan oleh Plato ( 428 – 348 SM ) dengan teori idenya. Yang
dimaksud dengan ide, menurut dia, adalah konsep universal dari tiap
sesuatu [3]. Tiap – tiap yang
ada di alam ini mesti mempunyai ide. Contoh ide yang terdapat pada manusia
adalah berpikir dan badan hidup. Setiap sesuatau yang ada di dunia ini intinya
mempunyai sebuah ide. Ide inilah yang menjadi dasar wujud dari sesuatu [4].
Ide berada
di dalam alam tersendiri, di luar alam nyata ini yakni yang dinamakan dengan alam
ide. Karena ide merupakan dasar wujud sesuatu, maka yang tampak nyata di
alam yang kita alami hanyalah bayangan. Bayangan tersebut hakikatnya berasal
dari ide yang ada dalam sesuatu tersebut. Ide tersebut merupakan sesuatu yang
kekal. Yang mempunyai wujud hanyalah ide dan benda – benda yang ditangkap
dengan indera hanyalah khayalan atau ilusi belaka. Ide – ide tersebut saling
berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, namun semuanya bersatu dalam
sebuah ide tertinggi yang diberi nama ide kebaikan atau The Absolute Good, yaitu
yang Mutlak Baik [5]. Yang Mutlak Baik
itu adalah tujuan, sumber dan sebab dari segala sesuatu. Yang Mutlak Baik itu
disebut juga dengan Tuhan. Dengan teori ini, membuktikan bahwa alam
beserta isinya bersumber dari Yang Mutlak Baik, atau yang disebut dengan Tuhan.
Argumen
ontologi kedua dicetuskan oleh St. Agustinus ( 354 – 450 SM ). Menurut
Agustinus, manusia dengan pengalamannya bahwa dalam alam ini ada kebenaran.
Namun, terkadang akal meragukan kebenaran tersebut. Akal dapat berpikir bahwa
diatas kebenaran – kebenaran yang diragukan tadi, ada kebenaran yang mutlak,
tetap dan abadi. Dan kebenaran yang mutlak tadi disebut juga dengan istilah
Tuhan.
Sedangkan
menurut Al Ghozali, seorang filosof Islam, jalan untuk mengetahui Tuhan dengan
pengalaman dapat dilakukan jika ada integrasi antara roh – jasad. Prosese
integrasi roh – jasad ini disebut sebagai proses percobaan atau pengalaman.
Dengan ini manusia akan memperoleh pengalaman lahir maupun batin. Bagi Imam Al
Ghozali, pengalaman memegang peranan penting dalam usaha manusia mencapai
pengetahuan yang tertinggi, yaitu ma’rifatullah [6].
B. Argumen
Kosmologis
Argumen
kosmologis, bisa juga disebut sebagai argumen sebab – akibat. Sesuatu yang
terjadi di alam ini, pasti ada sebabnya. Sebab itulah yang menjadikan adanya /
terjadinya sesuatu itu. Sebab alam lebih wajib dan ada daripada alam itu
sendiri. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya alam ini, bisa dipastikan Yang
Kuasa, Maha Besar. Atau disebut juga to aperion [7]. Yang Kuasa
( Sebab Utama ) ini tidak disebabkan oleh sebab yang lain. Dia bersifat qiyamuhu
binafsihi ( berdiri sendiri ). Argumen kosmologis ini dinyatakan pertama
kali oleh Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Dia adalah murid Plato, yang notabene
penggagas argumen ontologis.
Menurut
Aristoteles, setiap benda yang ditangkap dengan indera mempunyai materi dan
bentuk [8]. Bentuk terdapat
dalam benda dan membuat materi mempunyai sebuah bentuk / rupa. Bentuk bukanlah
bayangan atau ilusi, akan tetapi bentuk adalah sebuah hakikat dari benda itu
sendiri. Bentuk tidak dapat dilepaskan dalam materi. Materi dan bentuk dapat
dipisahkan dalam akal, namun tidak dapat dipisahkan dalam kenyataan. Bentuk
sebagai hakikat dari sesuatu tidak berubah – ubah dan kekal, namun dalam
inderawi terdapat perubahan.
Antara
materi dan bentuk ada suatu penghubung yang dinamakan gerak. Yang menggerakkan
adalah bentuk dan yang digerakkan adalah materi. Dalam gerak itu tentunya ada
yang menggerakkan. Yang menggerakkan itulah yang disebut sebagai Penggerak
Utama. Bentuk dalam arti Penggerak Utama mestilah sempurna dan kekal. Dia tidak
mungkin berhajat kepada yang lain.
Tuhan
menggerakkan alam bukan sebagai penyebab efisien ( penyebab karena ada potensi
), melainkan dia menggerakkan karena sebab tujuan. Aristoteles mengatakan bahwa
Tuhan menggerakkan karena dicintai ( He produces motion as being love ) [9]. Semua yang ada di
alam ini bergerak menuju ke Penggerak yang sempurna itu. penggerak Pertama,
menurut Aristoteles, adalah zat yang immateri, abadi dan sempurna.
Al Kindi (
796 – 873 M ), filosof Islam, berargumen bahwa alam ini diciptakan dan
penciptanya adalah Allah. Segala yang terjadi di alam ini pasti ada sebab
akibatnya. Semua rentetan sebab musabab ini berakhir pada sebab utama, yakni
Tuhan pencipta alam. Pencipta alam adalah esa dan berbeda dengan alam. Tiap
benda, menurut Kindi, mempunyai dua hakikat, yakni hakikat pertikular ( juz’i )
dan hakikat universal ( kulli ). Namun, Tuhan tidak mempunyai hakikat
partikular maupun universal. Dia bersifat Esa, Yang Benar, Yang Satu. Selain
Dia, semuanya bersifat banyak.
Thomas
Aquinas ( 1225 – 1274 M ) menolak pendapat para teolog bahwa eksistensi Tuhan
adalah masalah keimanan. Dia mengajukan keberadaan – Nya dengan 5 dalil.
a.
Adanya sifat
gerak. Sesuatu yang bergerak di alam tidak mungkin bergerak begitu saja tanpa
ada yang menggerakkan. Tentunya semua gerak berujung pada Penggerak Utama.
b. Adanya
kausalitas. Segala yang terjadi di alam ini, merupakan sebab musabab dari
sesuatu. Sebab musabab itu ( sebab efisien ) berujung pada Sebab Utama. Dialah
yang menyebabkan akibat – akibat di dunia ini.
c.
Adanya
kemungkinan dan kemestian. Kemungkinan berdalil oada sesuatu yang ada namun
adanya itu adalah diadakan. Dia bisa saja mugkin ada dan mungkin juga tidak
ada. Dari kemungkinan – kemungkinan tadi, ada sesuatu yang adanya itu adalah
wajib dan mesti. Dialah yang mengadakan sesuatu yang mungkin tadi. Dialah yang
disebut sebagai Tuhan.
d. Konsep
gradasi. Setiap yang ada di alam ini mempunyai lebih dan kurang. Namun lebih
dan kurang adalah keterangan tentang sesuatu yang berbeda sesuai dengan keserupaannya
dalam cara – cara yang berbeda, yaitu sesuai yang maksimum. Sesuatu dikatakan
lebih panas jika ada sesuatu yang serupa / menyerupai yang panas. Jadi ada
sesuatu yang lebih panas, lebih benar, paling baik, dll. Akibatnya harus ada
sesuatu yang paling di atas itu semua, dan itu harus paling tinggi dalam
kebenaran dan paling besar dalam eksistensi. Sesuatu yang paling di atas semua
tadi, yang menjadi ukuran / sebab dari semuanya, disebut Tuhan.
e.
Adanya
keteraturan dunia. Kita mengetahui segala benda / makhluk di alam ini mempunyai
aktivitas dan tujuan. Aktivis mereka selalu sama atau hampir sama untuk
mencapai hasil terbaik. Jadi, tidak mungkin mereka mencapai tujuan itu
merupakan sebuah kebetulan semata. Dengan demikian, mereka sebenarnya sudah
seperti di desain dahulu. Segla sesuatu yang memiliki kekurangan tidak akan
dapat mencapai tujuan / hasil terbaik jika tidak digerakkan oleh sesuatu yang
mempunyai kelebihan, seperti pengetahuan dan kecerdasan. Karena itu, sesuatu
yang cerdas harus ada karena semua makhluk diarahkan untuk mencapai tujuan
mereka, dan sesuatu itu kita namakan Tuhan.
C. Argumen
Teleologis
Berasal dari
kata telos, yang berarti tujuan. Dengan kata lain, alam ini berproses
dengan adanya menuju ke suatu tujuan tertentu. Dan segala yang ada didalamnya
bekerjasama untuk mencapai tujuan tersebut.
William
Paley ( 1743 – 1805 M ), seorang teolog Inggris, menyatakan bahwa alam ini
penuh dengan keteraturan. Langit yang biru dan tinggi. Bintang – bintang yang
bertebaran. Dan diatas itu semua ada Pencipta Yang Maha Kuasa. Tuhan
menciptakan itu semua ada tujuan tertentu. Seperti halnya Tuhan menciptakan
mata bagi makhluknya.
Dalam paham
teleologi, segala sesuatu dipandang sebagai organisasi yang tersusun dari
bagian – bagian yang mempunyai hubungan erat dan saling bekerjasama. Tujuan
dari itu semua adalah untuk kebaikan dunia dalam keseluruhan. Alam ini beredar
dan berevolusi bukan karena kebetulan, tetapi beredar dan berevolusi kepada
tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal, dan tentunya ada yang menggerakkan
menuju ke tujuan tersebut dan membuat alam ini beredar maupun berevolusi ke
arah itu. Zat inilah yang dinamakan Tuhan [10].
D. Argumen
Moral
Argumen
moral dipelopori pertama kali oleh Immanuel Kant ( 1724 – 1804 M ). Kant, dalam
tesis awalnya menyatakan bahwa manusia mempunyai moral dan yang tertanam dalam
jiwa dan hati sanubarinya [11]. Dalam hati
sanubari, tentu adanya bisikan – bisikan yang bisa saja kita namakan perintah.
Perintah ini bersifat absolut mutlak dan universal. Perbuatan baik / jahat
dilakukan karena perintah mengatakan demikian. Kant berpendapat bahwa perbuatan
baik semakin baik bukan karena akibat dari perbuatan itu dan tidak pula agama
yang mengajarkan bahwa perbuatan itu baik. Perasaan manusia yang menyatakan
bahwa ia harus berbuat baik ataupun untuk menjauhi larangannya, tidak
didapatkan di dunia ini, namun dibawa sejak lahir. Manusia lahir dengan
perasaan itu.
Antara apa
yang ada dalam sanubari ( perintah ) dan praktik di dunia, selalu terjadi
kontradiksi. Begitulah apa yang Kant gambarkan. Tetapi sungguhpun demikian,
manusia tetap merasa wajib mendengarkan perintah sanubari ini.
Dalam
kontradiksi ini ( yang baik tidak selamanya membawa kebaikan dan yang buruk
tidak selamanya mendapat hukuman sewajarnya di dunia ), mesti akan akan ada
hidup kedua di alam kedua setelah alam sekarang. Di dalam alam kedua ini, semua
perbuatan kan mendapat balasannya masing – masing. Dari kedua perasaan ini
timbul perasaan ketiga. Kedua perasaan itu berasal dari suatu Zat Yang Maha
Adil. Zat inilah yang dinamakan Tuhan.
Perintah
hati sanubari yang bersifat mutlak ini bukan hanya mengandung arti bahwa
manusia wajib patuh kepada perintah tersebut. Akan tetapi perintah tersebut
juga mengandung arti bahwa pada akhirnya perintah tersebut akan membawa kepada Summun
Bonum atau kesenangan yang tertinggi yang terdiri dari persatuan antara
kebajikan dan kesenangan yang timbul dari keadaan manusia yang dapat memenuhi
keinginan – keinginannya.
Sonnum Bonum ini
sebenarnya membawa kepada adanya Tuhan. Sonnum Bonum tidak tercapai
dalam alam ini karena ada perintah sanubari dan perintah manusia yang selalu
kontradiksi. Artinya, dalam alam moral ( sanubari ) dan alam materil (
keinginan manusia ) terdapat suatu pemisah. Manusia akan mencapai kebahagiannya
jika dapat melenyapkan pemisah ini. untuk memisahkan pemisah ini dibutuhkan
kekuatan yang besar daripada kekuatan manusia. Kekuatan inilah yang disebut
sebagai Tuhan.
Kant juga
berpendapat bahwa logika tidak dapat membawa keyakinan tentang adanya Tuhan.
Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa perasaanlah yang mampu membawa manusia
kepada keyakinan akan adanya Tuhan. Akal, hanya memberi kebebasan untuk percaya
atau tidak adanya Tuhan, sedangkan sanubari memberi perintah kepadanya untuk
percaya bahwa Tuhan itu ada.
Manusia
diberi perintah untuk melaksanakan hal baik lewat hati sanubari. Perbuatan –
perbuatan itu tentu ada nilai – nilainya. Perasaan itu diperoleh bukan dari
pengalaman, tetapi telah ada dalam diri manusia. Perintah ini tentunya ada / berasal
dari suatu Zat yang tahu baik dan buruk. Zat inilah yang dinamakan Tuhan. Nilai
– nilai tersebut tidak terdapat dalam manusia, melainkan terdapat dalam diri
Tuhan.
Selain
4 argumen diatas ( ontologis, kosmologis, teleologis dan moral ), ada beberapa
dalil yang menyatakan atau menegaskan bahwasannya Tuhan itu ada. Walaupun dalil
– dalil ini intinya sama dengan argumen – argumen diatas, namun bahsa yang
digunakan sedikit berbeda dengan yang diatas. Dalil – dalil tersebut antara
lain :
a. Preuve Metaphisique,
yaitu dalil akal semata. Menurut akal, alam yang besar dan luas ini, tentu
tidak akan terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan. Dan dialah
yang disebut sebagai Tuhan. Manusia, walaupun kuat dan pintar, namun tetaplah
tidak sempurna. Sedangkan Tuhan, yang notabene sebagai pencipta, tentu Dia
adalah sempurna, dan tentu dia tidak diciptakan.
b. Preuve
Phisique, dalil yang terdiri dari alam. Dalil ini pertama kali dipakai oleh Abul
Huseil Al Allaf [12].
Dia memulai dalil ini dengan teori atom. Menurutnya semua yang ada di alam ini
dapat dibagi – bagi sampai ke bagian yang terkecil yang dinamakan dengan
istilah molekul. Tiap molekul terdiri dari atom – atom. Atom ini
berputar disekitar atom lainnya. Dari perputaran ini menimbulkan daya tarik
menarik antara molekul – molekul. Dan yang menggerakkan itulah yang dinamakan
dengan istilah Tuhan.
c. Preuve
Teleologique, dalil yang diambil dari susunan dan keindahan alam. Di dalam alam
ini, ada semacam susunan dan peraturan yang bagus. Bintang – bintang maupun
planet – planet beredar sesuai dengan garis edarnya dan tidak saling
bertabrakan. Begitu juga darah yag ada dalam manusia. Beredar dengan teratur
sesuai jalannya sendiri – sendiri. Dari fenomena itu semua, tentu ada yang
dinamakan Dieu Organisateur, Yang Maha Mengatur. Dialah yang disebut
dengan Tuhan.
d. Preuve
Moral, yaitu dalil yang diambil dari moral. Walaupun alam ini sudah diciptakan
dengan baik dan indah, namun tetap saja ada yang tidak beres dalam kehidupan
kecil didalamnya ( manusia ). Seakan tidak ada keadilan dalam kehidupan manusia
di dunia ini. suatu saat, pasti akan ada yang membereskan dari ketidakadilan –
ketidakadilan tersebut. Dialah Sang Maha Pemberes segala sesuatu, yang
dinamakan Tuhan. [13]
Menurut Sayyid sabiq, ada tiga teori
yang bisa digunakan dalam membuktikan
kebenaran eksistensi Tuhan:
1.
Alam semesta
bermula atau muncul dari tidak ada
Teori ini batil secara fundamental
karena musabab selalu terikat dengan sebab dan kesimpulan selalu terikat dengan
pendahuluan. Pernyataan bahwa alam
semesta bermula atau muncul dari tidak ada menjadi ada berarti menyatakan
bahawa alam semesta berwujud dengan sendirinya dan muncul secara terpisah dari
sebabnya. Keberaddan sesuatu dengan sendirinya yang terputus dari sebabnya
adalah muhal. Jika kita katakana alam semesta berwujud dengan sendirinya dan
terputus dari sebabnya, maka hal ini sama dengan ucapan kita bahwa ketidakadaan
merupakan sebab adanya sesuatu yang ada, dan hal ini muhal.
2. Alam semesta
bermula dan muncul secara kebetulan dengan sendirinya
Teori yang ke dua ini lebih rumit
daripada teori yang pertama. Teori ini sama dengan teori evolusi, suatu metode
unik penyangkal keberadaan Allah – menyatakan bahwa molekul-molekul anorganik
membentuk asam-asam amino secara kebetulan, asam-asam amino membentuk
protein-protein secara kebetulan, dan akhirnya protein-protein membentuk
makhluk hidup secara lagi-lagi kebetulan. Akan tetapi, kemungkinan pembentukan
makhluk hidup secara kebetulan ini lebih kecil daripada kemungkinan pembentukan
Menara Eiffel dengan cara yang serupa, karena sel manusia bahkan lebih rumit
daripada segala struktur buatan manusia di dunia ini.
Bagaimana mungkin mengira bahwa
keseimbangan di dunia ini timbul secara kebetulan bila keserasian alam yang
luar biasa ini pun bisa teramati dengan mata telanjang? Pernyataan bahwa alam
semesta, yang semua unsurnya menyiratkan keberadaan Penciptanya, muncul dengan
kehendaknya sendiri itu tidak masuk akal.
Karena itu, pada keseimbangan yang
bisa dilihat di mana-mana dari tubuh kita sampai ujung-ujung terjauh alam
semesta yang luasnya tak terbayangkan ini pasti ada pemiliknya.
3. Alam semesta
ini diciptakan oleh Dzat yang mewujudkan
Teori ke tiga ini menetapkan bahwa
alam semesta ada yang menciptakan dan ada yang mengatur. Teori ini sesuai
dengan hasil pengertian rasio dan logika normal. Jadi, siapakah Pencipta ini
yang mentakdirkan segala sesuatu secara cermat dan menciptakan semuanya? Ia
tidak mungkin zat material yang hadir di alam semesta ini, karena Ia pasti
sudah ada sebelum adanya alam semesta dan menciptakan alam semesta dari sana.
Pencipta Yang Mahakuasa ialah yang mengadakan segala sesuatu, sekalipun
keberadaan-Nya tanpa awal atau pun akhir.
Agama mengajari kita identitas
Pencipta kita yang keberadaannya kita temukan melalui akal kita. Melalui agama
yang diungkapkan kepada kita, kita tahu bahwa Dia itu Allah, Maha Pengasih dan
Maha Pemurah, Yang menciptakan langit dan bumi dari kehampaan.
Meskipun kebanyakan orang mempunyai
kemampuan untuk memahami kenyataan ini, mereka menjalani kehidupan tanpa
menyadari hal itu. Bila mereka memandang lukisan pajangan, mereka takjub siapa
pelukisnya. Lalu, mereka memuji-muji senimannya panjang-lebar perihal keindahan
karya seninya. Walau ada kenyataan bahwa mereka menghadapi begitu banyak
keaslian yang menggambarkan hal itu di sekeliling mereka, mereka masih tidak
mengakui keberadaan Allah, satu-satunya pemilik keindahan-keindahan ini.
Sesungguhnya, penelitian yang mendalam pun tidak dibutuhkan untuk memahami keberadaan
Allah. Bahkan seandainya seseorang harus tinggal di suatu ruang sejak
kelahirannya, pernak-pernik bukti di ruang itu saja sudah cukup bagi dia untuk
menyadari keberadaan Allah. [14]
Dari ketiga teori di atas dapat kisa simpulkan bahwa alam semesta
berjalan dengan “kesadaran” (consciousness) tertentu. Lantas, apa sumber
kesadaran ini? Tentu saja bukan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya.
Tidak ada satu pun yang menjaga keserasian tatanan ini. Keberadaan dan
keagungan Allah mengungkap sendiri melalui bukti-bukti yang tak terhitung di
alam semesta. Sebenarnya, tidak ada satu orang pun di bumi ini yang tidak akan
menerima kenyataan bukti ini dalam hati sanubarinya.
BAB III
KESIMPULAN
Teori atau
argumen yang menyatakan akan adanya Tuhan dapat dibagi menjadi 4 yakni :
a.
Argumen ontologis bersumber pada alam nyata dan juga bersumber pada logika.
Tokoh yang termasuk mempelopori aliran ini antara lain Plato dengan teori
idenya. Dia menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mempunyai ide. Ide
tertinggi yang bersifat kekal dan abadi, dia sebut sebagai Tuhan. Selain Plato,
St. Agustinus juga merupakan salah satu tokoh yang menyatakan argumen
ontologis. Menurut Agustinus, manusia dengan pengalamannya bahwa dalam alam ini
ada kebenaran. Namun, terkadang akal meragukan kebenaran tersebut. Akal dapat
berpikir bahwa diatas kebenaran – kebenaran yang diragukan tadi, ada kebenaran
yang mutlak, tetap dan abadi. Dan kebenaran yang mutlak tadi disebut juga
dengan istilah Tuhan.
b.
Argumen kosmologis, argumen yang bertolak dari sebab akibat. Akibat yang ada di
dunia ini, pasti ada yang menyebabkan terjadinya alam ini. Sebab itulah yang
menjadikan adanya / terjadinya sesuatu itu. Sebab alam lebih wajib dan ada
daripada alam itu sendiri. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya alam ini, bisa
dipastikan Yang Kuasa, Maha Besar. Atau disebut juga to aperion. Yang
Kuasa ( Sebab Utama ) ini tidak disebabkan oleh sebab yang lain. Dia bersifat qiyamuhu
binafsihi ( berdiri sendiri ). Argumen kosmologis ini dinyatakan pertama
kali oleh Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Al Kindi ( 796 – 873 M ), filosof
Islam, berargumen bahwa alam ini diciptakan dan penciptanya adalah Allah.
Segala yang terjadi di alam ini pasti ada sebab akibatnya. Semua rentetan sebab
musabab ini berakhir pada sebab utama, yakni Tuhan pencipta alam. Pencipta alam
adalah esa dan berbeda dengan alam. Tiap benda, menurut Kindi, mempunyai dua
hakikat, yakni hakikat pertikular ( juz’i ) dan hakikat universal ( kulli ).
Namun, Tuhan tidak mempunyai hakikat partikular maupun universal. Dia bersifat
Esa, Yang Benar, Yang Satu. Selain Dia, semuanya bersifat banyak.
c.
Argumen teleologis. Dalam paham teleologi, segala sesuatu dipandang sebagai
organisasi yang tersusun dari bagian – bagian yang mempunyai hubungan erat dan
saling bekerjasama. Tujuan dari itu semua adalah untuk kebaikan dunia dalam
keseluruhan. Alam ini beredar dan berevolusi bukan karena kebetulan, tetapi
beredar dan berevolusi kepada tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal, dan
tentunya ada yang menggerakkan menuju ke tujuan tersebut dan membuat alam ini
beredar maupun berevolusi ke arah itu. Zat inilah yang dinamakan Tuhan.
Tokohnya antara lain William Paley ( 1743 – 1805 M ).
d.
Argumen moral dikemukakan oleh Immanuel Kant ( 1724 – 1804 M ). Argumen ini
berargumen akan adanya moral dalam hati sanubari manusia. Dalam alam moral (
sanubari ) dan alam materil ( keinginan manusia ) terdapat suatu pemisah.
Manusia akan mencapai kebahagiannya jika dapat melenyapkan pemisah ini. untuk
memisahkan pemisah ini dibutuhkan kekuatan yang besar daripada kekuatan
manusia. Kekuatan inilah yang disebut sebagai Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Sabiq, Sayid, Akidah Islam, Suatu kajian yang
memposisikan akal sebagai mitra wahyu, Al Ikhlas, Surabaya : 1996
Bakhtiar, MA, Prof. Dr, Filsafat
Agama, Wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, Amsal, PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta : 2009
Arifin, Bey, Mengenal Tuhan,
PT Bina Ilmu, Surabaya ; 1994
Hadiwijoyo, Dr. Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat II ,Kanisius,
Yogyakarta : 1980.
Hadiwijoyo, Dr. Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Kanisius,
Yogyakarta : 1980.
[1] Akidah
Islam, Suatu kajian yang memposisikan akal sebagai mitra wahyu, Sayid Sabiq,
Al Ikhlas, Surabaya : 1996, hal. 42
[2] Filsafat
Agama, Wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar,
MA, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta : 2009, hal. 169
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Mencari
Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan, Abdul Munir Mulkhan, Bumi Aksara, Jakarta
: 1991, hal. 131
[7]
Teori Anaximandros ( 610 - 540 SM )
tentang yang tak terbatas. Lihat : Sari Sejarah Filsafat Barat, Dr.
Harun Hadiwijoyo, Kanisius, Yogyakarta,
hal. 16
[8] Filsafat
Agama, Wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar,
MA, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta : 2009, hal. 175
[9]
Ibid, hal. 177
[10]
Ibid, hal. 187
[11]
Ibid, hal. 189
[12]
Seorang pemikir dari Madzhab Mu’tazilah. Dia juga salah satu murid pendiri
Mu’tazilah, Washil Bin Atha’. Lihat : Mengenal Tuhan, Bey Arifin, PT
Bina Ilmu, Surabaya ; 1994, hal. 15
[13]
Mengenal Tuhan, Bey Arifin, PT Bina Ilmu, Surabaya ; 1994, hal. 16
[14]
Akidah Islam, Suatu kajian yang memposisikan akal sebagai mitra wahyu, Sayid
Sabiq, Al Ikhlas, Surabaya : 1996, hal. 54 – 56
Komentar
Posting Komentar