proposal rehabilitasi lahan kritis
PROPOSAL
REHABILITASI LAHAN KRITIS
DAN RUSAK LERENG MURIA BAGIAN SELATAN
DENGAN SEJUTA JABON (JATI
KEBON)
A.
PROBLEM STATEMEN
Gunung Muria merupakan salah satu gunung api yang berdasarkan
klasifikasi Direktorat Vulkanologi tidak termasuk gunung api aktif dan
diklasifikasikan sebagai Gunung Api Ma’ar[1].
Sehingga meskipun tidak sebagai gunung api aktif namun memiliki potensi letusan
jika terjadi perubahan proses geologi pada wilayah tersebut.
Kawasan Gunung Muria terdiri dari dataran tinggi, dataran rendah
dan pesisir yang melingkupi tiga kabupaten, yaitu kabupaten Jepara, Kudus, dan
Pati.Penggunaan lahan di dataran tinggi di Kawasan Gunung Muria adalah sebagai
kawasan hutan lindung dan hutan produksi.Sebagian lagi berfungsi sebagai kebun,
hutan rakyat, tanah ladang, persawahan dan pemukiman.Kawasan ini telah
ditetapkan sebagai kawasan catchment area
sejak pemerintahan Hindia Belanda[2],
yang kemudian ditetapkan sebagai kebijakan oleh pemerintah Indonesia.
Berdasarkan data BPDAS Pemali Jawa Tengah tahun 2007, keadaan
penutupan lahan di kawasan tersebut mengalami degradasi dari tahun ke tahun.
Total luas hutan kawasan Muria[3]
adalah 69.812,08 ha, dan hutan di wilayah Jepara 21.516,406 Ha, tahun 2007, 17.
954 Ha atau 83% gundul, termasuk 3,962.66 ha Hutan Lindung[4].dan
jika dilihat kondisi sekarang, masih beroperasinya illegal loging, illegal
mining yang sudah masuk wilayah hutan lindung perhutani, maka kerusakan hutan di jepara pada saat ini
mencapai 18.288.945 ha atau 85%.
Problem kerusakan sumber daya lingkungan dan peningkatan
intensitas serta kualitas bencana (banjir, longsor, kekeringan, krisis pangan
dan kemiskinan) dalam dua dekade ini menjadi ancaman serius bagi masyarakat di
Jepara.Selain korban jiwa dan kerusakan infrastruktur, bencana juga melemahkan sumberdaya
ekonomi, budaya, sosial dan politik masyarakat[5].
Problem kekeringan salah satunya disebabkan
debit sumber air di wilayah hulu sungai-sungai besar yang mengalir ke kawasan
budidaya dan pesisir pantai utara mulai menurun. Maka setiap tahun kabupaten
Jepara mengalami kekurangan air yang memicu konflik pengelolaan sumber daya
antar masyarakat, pemerintah serta investor. Petani di daerah budidaya dan
pesisir harus berjuang keras untuk mendapatkan air irigasi, tambak ataupun air
konsumsi keluarga. Hilangnya sumber air di kawasan catchments area memperluas
area kekeringan, bukan hanya di kawasan budidaya tetapi meluas sampai ke daerah
daerah di kawasan penyangga, dimana sumber air itu berasal.
Problem Banjir, terjadi didataran rendah terutama pada daerah-daerah
sekitar aliran sungai. Meluapnya Kali Gawe, Kali Gelis, dan SWD II di Jepara
mengakibatkan banjir di wilayah kecamatan
Pencangaan, Mayong, Welahan, Kedung, Tahunan, Kalinyamatan, Kota Jepara
serta kecamatan Keling[6].
Banjir dengan warna air sungai coklat keruh berlumpur selain karena problem
sedimentasi mulut sungai dalam pengelolaan DAS setiap tahun juga menunjukkan
problem tata kelola dan tata guna lahan yang tidak tepat di kawasan konservasi.
Pengelolaan banjir dan kekeringan telah dilakukan pemerintah
melalui pembagian kerja administratif untuk pengelolaan hutan, pertanian dan
Daerah Aliran Sungai (DAS Balong, DAS Juana dan DAS Serang).Program pemerintah
kabupaten dan provinsi melalui Proyek JRATUNSELUNA dan pembangunan
tanggul-tanggul sungai untuk pengamatan dan pengendalian banjir belum menyentuh
pada kebijakan pengelolaan kawasan catchment
area, serta perhatian khusus pada praktek pembukaan lahan baru serta
pemanfaatan lahan di daerah perbukitan dan pegunungan.
Tingginya resiko tanah longsor juga tampak dari gerakan tanah
berupa kekar-kekar maupun bidang sesar tanah.Resiko tinggi tanah longsor dapat
di jumpai di wilayah kecamatan Keling, Batealit dan Mayong di kabupaten Jepara.
Hujan dengan intensitas tinggi dan lereng yang tidak tertutup
meningkatkan resiko terjadinya gerakan tanah antara tanah pelapukan dengan
batuan dasar. Aktifitas ekplorasi dan penggalian batu (jenis boulder andesit)
di wilayah resiko tinggi juga akan mempercepat terjadinya runtuhan tanah.
Sementara problem abrasi gelombang laut dan Intrusi air laut
terjadi di Kecamatan Kedung, Pecangaan, Tahunan, Mlonggo dan Keling di
Kabupaten Jepara; Abrasi paling nyata adalah pada kasus hilangnya tambak dan
pemukiman di desa Bulak kecamatan Kedung Jepara tahun 1975an berubah menjadi
laut karena abrasi dan intrusi (100m sampai 5 km). Problem Tata kelola air dan
infrastruktur kawasan mempercepat abrasi dan intrusi.
Kerusakan ekosistem kawasan Muria diduga kuat disebabkan oleh
kesalahan kebijakan strategi pengelolaan kawasan yang diarahkan untuk
pembangunan industri tanpa memperhatikan keberlanjutan dan daya dukung
lingkungan. Proses ini berjalan sejak tahun 1970-an sampai sekarang. Rendahnya
penegakan hukum bagi perlindungan kelestarian kawasan Muria oleh aparat
pemerintahan menjadi problem serius.
Secara resmi Pemkab Jepara menyatakan 34 desa di Kabupaten Jepara
rawan mengalami bencana.Ke-34 desa tersebut tersebar di delapan kecamatan itu
sebagian besar berada di wilayah selatan dan beberapa di wilayah utara.
Untuk daerah rawan longsor, ada beberapa desa disebutkan
berpotensi mengalami bencana ini.Desa-desa tersebut adalah Tempur, Watuaji,
Damarwulan (di Kecamatan Keling), Semanding, Dudak Awu (Kembang), Bungu, Pancur (Mayong), Bategede (Nalumsari), Sumosari, Batealit (Batealit) dan Tanjung
(Mlonggo).
Sedangkan untuk klasifikasi daerah rawan banjir (bandang,
genangan, rowo, luapan sungai, pantai)
disebutkan desa-desa antara lain Tiga Juru, Bungu, Paren(Mayong),
Dorang, Belimbingrejo (Nalumsari), Ketileng Singolelo, Gedangan, Kalipucang
Wetan, Kedungsari Mulyo, Guo Sobokerto (Welahan), Batukali (Kalinyamatan),
Karang Randu, Gerdu, Kaliombo (Kalinyamatan), Surodadi, Sowan Kidul (Pecangaan)
dan Tubanan (Kembang).
Walaupun demikian, pemerintah daerah Jepara
belum membuka ruang partisipasi khusus kepada desa-desa rawan bencana desa dalam
penyusunan kebijakan pengelolaan pengurangan
resiko bencana. Situasi ini terkait dengan paradigma, mentalitas, anggaran dan
problem ekonomi di pemerintah daerah, desa dan masyarakat yang harus dilihat
secara lebih luas pada aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Di sisi lain, implementasi kebijakan otonomi daerah (UU No 32 dan
34 tahun 2004) telah berdampak secara langsung pada makin tidak terurusnya
pengelolaan kawasan oleh tiga kabupaten (Pati, Kudus dan Jepara) maupun oleh
propinsi Jawa Tengah. Lemahnya pemahaman pentingnya pengelolaan terpadu dalam
penanganan problem Kawasan Muria menjadi masalah crusial.Maka yang terjadi
adalah minimnya kerjasama program lintas Desa Rawan Bencana, kabupaten,
propinsi maupun departemen.Masing masing berjalan sendiri, tanpa koordinasi dan
sinergi program.
Arah kebijakan pembangunan di Provinsi Jawa Tengah, di Kabupaten
Jepara, Kudus dan Pati tahun 2006/2010, tidak menyebutkan secara jelas rencana strategis
pembangunan daerah yang mengarah langsung pada upaya mengelolaan dan
penyelesaian problem kerusakan kawasan Muria.
Pada kebijakan kebencanaan, program pemerintah masih merupakan
respon bencana (tanggap darurat) dan belum bersinergi dengan rencana program
lain.
Pada level nasional pengesahan Undang Undang Penanggulangan
Bencana No 24 tahun 2007 memberi peluang pada pengarusutamaan bencana dalam
kebijakan pembangunan pemerintahan di Indonesia. Meskipun belum ada penjabaran
melalui Peraturan Pemerintah, tetapi secara politik UUPB memberikan peluang
bagi pengembangan sistem Managemen Resiko dan Managemen Krisis di tingkat lokal
dan kawasan secara terpadu.
Berdasarkan kondisi diatas, maka segera diperlukan sebuah
kebijakan untuk segera mengurangi kondisi kawasan Muria dari aspek kerusakan
lingkungan, kebencanan, kesejahteraan dan livelihood masyarakat. Kegiatan ini
penting untuk membangun kesadaran masyarakat dan pemerintahan kabupaten Jepara
didalam memahami kontek masalah tingkat kota dan kawasan.
Penggunaan lahan di jepara bagian selatan
No
|
Kecamatan
|
Sawah
|
Kering
|
Luas (ha)
|
1
|
Batealit
|
2.221,700
|
6.666,165
|
8.887,865
|
2
|
Pecangaan
|
1.536,696
|
2.003,200
|
3.539,896
|
3
|
Kedung
|
1.976,741
|
2.329,540
|
4.306,281
|
4
|
Kalinyamatan
|
1.390,662
|
1.027,248
|
2.417,910
|
|
Jumlah
|
7,125,799
|
12,026,153
|
19,151,952
|
|
Kabupaten Jepara
|
26.408,004
|
74.005,185
|
100.413,189
|
Desa-desa Lereng
Muria Bagian Selatan merupakan Daerah Konservasi
No
|
Kecamatan
|
Konservasi
|
Penyangga
|
Budidaya
|
1.
|
Nalumsari
|
a.
Bategedhe
b.
Muryolobo
c.
Ngetuk
d.
Dorang
e.
Bendan pete
|
|
|
2.
|
Batealit
|
a.
Bringin
b.
bantrung
c.
batealit
d.
mindahan lor
e.
mindahan kidul
f.
somosari
|
|
|
3.
|
Mayong
|
a.
pancur
b.
bungu
c.
bandung
d.
pule
e.
datar
|
|
|
B.
LANDASAN PROGRAM
1. Issue penghijauan adalah
issue internasional dan nasional
2. Sesuai dengan program
pemerintah “Gerakan Menanam Satu Miliyar Pohon”
3. RPJM-Daerah Jepara
4. RPJM-Desa Pancur
5. RPJM-Desa Bungu
6. RPJM-Desa Bandung
7. RPJM-Desa Somosari
8.
RPJM-Desa Bategede
C.
NAMA PROGRAM
REHABILITASI LAHAN KRITIS DAN RUSAK LERENG MURIA
BAGIAN SELATAN DENGAN SEJUTA JABON (JATI KEBON)
D.
TUJUAN PROGRAM
Program Penghijaun
Kawasan Pegunungan Muria bagian
selatan ini di harapkan mampu mengajak pemerintah, perhutani,
pengusaha, masyarakat desa-desa
kawasan lereng muria bagian selatan dan stakeholders yang lain untuk lebih peduli
terhadap kelestarian hutan di kawasan pegunungan Muria. dan Tujuan program ini
adalah :
§
Mengembalikan fungsi hutan di kawasan
pegunungan muria sebagai penyangga dan serapan air.
§
Meningkatkan kesadaran semua pihak akan
pentingnya fungsi hutan yang sebenarnya.
§
Meningkatkan peran dan tanggung jawab
Perhutani, masyarakat dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber
daya hutan.
§
Meningkatkan mutu sumber daya hutan,
produktivitas dan keamanan hutan.
§
Mendorong dan menyelaraskan pengelolaan
sumberdaya hutan sesuai dengan dinamika sosial masyarakat sekitar hutan.
E.
TARGETPROGRAM
·
Terwujudnya fungsi hutan yang sebenarnya,
terutama hutan kawasan lereng
muria bagian selatan.
·
Adanya perhatian multi pihak dalam
pelestarian dan konservasi hutan di kawasan pegunungan muria
·
Terwujudnya kesadaran dari semua elemen
masyarakat atas pentingnya fungsi hutan.
·
Konsolidasi masyarakat konservasi di lereng
pegunungan Muria, khususnya di desa-desa
kawasan lereng muria bagian selatan
F.
OUT PUT PROGRAM
·
Adanya tindakan bersama untuk menghijaukan
kawasan lereng pegunungan
Muria bagian selatan
·
Adanya
partisipasi masyarakat dalam mengembalikan fungsi Hutan di kawasan
pegunungan Muria.
·
Adanya sinergi antara pemerintah, perhutani, pengusaha, LSM, dan masyarakat
dalam konservasi hutan di kawasan pegunungan muria.
G.
BENTUK DAN
KEGIATAN PROGRAM
§
Pemetaan dan Survei Kawasan lereng pegunungan Muria bagian selatan
§
Pengajuan dan pengumpulan bibit pohon dari
donatur dan pihak-pihak yang peduli terhadap konservasi pegunungan muria
§
Penanaman pohon bersama Masyarakat dan
stakeholders yang terlibat dalam program
§
Pemeliharaan / perawatan tanaman
§
Evaluasi program
H.
SASARAN PROGRAM
§
Masyarakat desa Pancur, Bandung, Bungu, Somosari dan Bategede
§
Masyarakat Kawasan Pegunungan Muria di
Jepara, Pati dan Kudus
§
Pemerintah dan Pengusaha
§
Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi massa
dan Pecinta Alam
I.
LOKASI PROGRAM
1.
Desa Pancur100 ha
Data lokasi,
luas dan blok terlampir
2.
Desa Bungu100 ha
Data lokasi,
luas dan blok terlampir
3.
Desa Bandung100 ha
Data lokasi,
luas dan blok terlampir
4.
Desa Somosari100 ha
Data lokasi,
luas dan blok terlampir
5.
Desa Bategede100 ha
Data lokasi,
luas dan blok terlampir
J.
PELAKSANA PROYEK
Proyek ini dikoordinasikan oleh YLSKAR Kawasan Jepara
dan dalam pelaksanaan lapangannya dikerjasamakan dengan lembaga desa terkait.
1. Desa Pancur – LMDH Pancur
2. Desa Bungu – Taruna Tani
Ngudi Raharjo Bungu
3. Desa Bandung – LMDH
Bandung
4. Desa Somosari – Kelompok
Pengelola Hutan Rakyat Somosari
5.
Desa Bategede – LMDH Bategede
K.
ANGGARAN BAIAYA
Terlampir
L.
PENUTUP
Lampiran 1
PROFIL LEMBAGA PENGELOLA
1. YLSKAR
2. Desa Pancur – LMDH Pancur
3. Desa Bungu – Taruna Tani
Ngudi Raharjo Bungu
4. Desa Bandung – LMDH
Bandung
5. Desa Somosari – Kelompok
Pengelola Hutan Rakyat Somosari
6.
Desa Bategede – LMDH Bategede
LAMPIRAN 2
SUSUNAN PANITIA PELAKSANA
Lampiran 3
RUKK (Rencana Usulan
Kerja Kelompok)
Lampiran 4
Anggaran Biaya
Lampiran 5
Data Lokasi Luas Lahan dan Pemiliki Rencana
Penghijauan
Lampiran 6
Peta Lokasi Penghijauan
Lampiran 7
PROFIL JABON (JATI KEBON)
a. Karakteristik Jabon
b. Kecocokan Lokasi dan
Media Tanam
c. Perawatan dan Sistem
Pengelolaan
d. Masa Panen Tebang
e. Analisa Kebutuhan Pasar
f.
Analisa Perhitungan Usaha
[1] Menurut Schiedecfer (1959) dalam pelelitian Sutikno
bronto dan Sri Mulyani pada Jurnal Geologi Indonesia 2007, Gunung Api Ma’ar
adalah cekungan yang umumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km dan
dikelilingi oleh endapan hasil letusannya. Gunung api Ma’ar yang cekungan
kawahnya tidak berisi air disebut Ma’ar kering. Ma’ar juga bias diartikan
sebagai kerucut gunung api monogenesis yang memotong batuan dasar di bawah
permukaan air tanah dan membentuk kerucut berpematang landai yang tersusun oleh
rempah gunung api berbutir halus dan kasar, mempunyai diameter kawah bervariasi
antara 100 – 3000 m yang terisi air sehingga membentuk danau.
[2]1873
Staatsblad No. 215
[3]Dikompilasi dari Data Badan Pusat Statistik Jawa Tengah
(BPS), Suara Merdeka 28 Februari 2006
dan hasil workshop Strategy Planning Tingkat Kota YLSKAR tentang strategi
pengelolaan kawasan tanggal 2 November 2007
[4]Laporan Riset Makro Dampak Stategi
Pembangunan Terhadap Kerusakan Ekosistem Kawasan Muria. Community Organzer
LSKAR Jepara, 2005/2006
[5]Banjir menggenangi hunian dan lahan
pertanian dalam tiga hari saja merugikan petani minimal 3 milyar rupiah karena
gagal panen, belum termasuk economic loss di sektor jasa dan transportasi,
infrastruktur dan kesehatan masyarakat. Banjir terjadi tiap tahun lebih dari 2
minggu (Suara Merdeka, 20 Januari 2006)
[6]PU
Jepara tahun 2002
Komentar
Posting Komentar